Awal cerita dimulai dari keberangkatan
“Aku” ke Mekah guna memenuhi rukun Islam yang ke-5 yaitu menunaikan
ibadah haji. Alangkah besar hati “Aku” ketika melihat Ka’bah dan Menara
Masjidil Haram yang tujuh itu, yang mana sudah menjadi
kenang-kenanganku. “Aku” menginap di rumah seorang syekh yang pekerjaan
dan pencaariannya semata-mata memberi tumpangan bagi orang haji. Di
sinilah “Aku” bertemu dan mendapat seorang sahabat yangmulia dan patut
dicontoh yang bernama Hamid. Hidupnya amat sederhana,tiada lalai dari
beribadat,tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tiada berfaedah,
lagi amat suka memperhatikan kehidupan orang-orang yang suci, ahli
tasawuf yang tinggi. Bila “Aku” terlanjur membicarakan dunia dan hal
ihwalnya, dengan amat halus dan tiada terasa pembicaraan itu telah
dibelokkannya kepada kehalusan budi pekerti dan ketinggian kesopanan
agama. Baru dua bulan saja,
pergaulan kami yang baik itu tiba-tiba telah terusik dengan kedatangan
seorang teman baru dari Padang, yang rupanya mereka adalah teman lama.
Ia bernama Saleh, menurut kabar ia hannya tinggal dua atau tiga hari di
Mekah sebelum naik haji, ia akan pergi ke Madinah dulu dua tiga hari
pula sebelum jemaah haji ke Arafah. Setelah itu ia akan meneruskan
perjalanannya ke Mesir guna meneruskan studinya. Namun kedatangan
sahabat baru itu, mengubah keadaan dan sifat-sifat Hamid. Belakangan Hamid lebih banyak duduk termenung
dan berdiam seorang diri, seakan-akan “Aku” dianggap tidak ada dan idak
diperdulikannya lagi. Karena merasa tidak nyaman, maka “Aku”
memberanikan diri mendekati dan bertanya kepadanya, kabar apakah
gerangan yang dibawa sahabat baru itu sehingga membuatnya murung. Ia
termenung kira-kira dua tiga menit,setelah itu ia memandangku dan
berkata bahwa itu sebuah rahasia. Namun setelah dibujuk agak lama,
barulah ia mau berbagi kedukaannya kepadaku. Dan ternyata rahasia yang
ia katakan ialah tentang masa lalu dan kisah cintanya dimasa itu. Saleh
mengabarkan kalau dia sudah menikah dengan Rosna yang kebetulan teman
sekolahnya dan sahabat Zainab juga.
Suatu ketika Rosna bertandang ke rumah Zainab, yang mana Zainab itu
adalah orang yang Hamid kasihi selama ini, namun ia tiada berani untuk
memberitahukan perasaannya itu kepada Zainab,mengingat jasa-jasa orang
tua Zainab kepada Hamid dan ibunya selama ini. Apalagi saat itu ibunya
Zainab pernah meminta Hamid untuk membujuk Zainab supaya mau dinikahkan
dengan kemenakan ayahnya. Padahal waktu itu Hamid berniat unuk memberi
tahukan tentang perasaannya yang selama itu dia simpan kepada
Zainab,namun niatnya itu diurungkannya. Betapa terkejutnya Hamid ketika ia dimintai
tolong untuk membujuk Zainab supaya mau dinikahkan dengan orang yang
sama sekali belum ia kenal. Hamid gagal membujuk Zainab, karena Zainab
menolak untuk dinikahkan. Hamid pulang dengan perasaan yang kacau balau,
sejak saat itu Hanid memutuskan untuk merantau, sebelum pergi ia
menulis surat untuk Zainab. Setelah itu mereka tiada berhubungan lagi,
dan sampai sekarang pun ia masih menyimpan perasaanya itu. Dan
kedatangan Saleh kemarin memberitahukan bahwa ternyata Zainab pun
menyimpan perasaan yang sama, perasaan yang selama ini disimpan oleh
Hamid. Saleh memberitahukan bahwa kesehatan Zainab memburuk dan ia ingin
sekali tahu bagaimana kabar Hamid.
Setelah Zainab mendengar keberadaan Hamid di Mekah, Ia pun mengirim
surat kepada Hamid sebagai balasan surat Hamid yang dulu. Seminggu
setelah itu, Zainab pun menghembuskan nafasnya. Hamid tidak mengetahui
kematian Zainab karena pada saat itu iapun sedang sakit, sehingga
temannya tidak tega untuk memberitahukan kabar tersebut. Ketika Hamid
sedang melaksanakan tawaf dan mencium hajar aswad ia berdoa dan
menghembuskan nafas terakhirnya.
KUTIPAN Salinan surat Zainab Abangku hamid! Baru sekarang adinda beroleh berita di mana
Abang sekrang. Telah hampir dua tahun hilang saja dari mata,laksana
seekor burung yang terlepas dsri sangkarnya sepeniggal yang empunya
pergi. Kadang-kadang adinda sesali diri sendir, agaknya adinda telah
bersalh besar, sehingga Kakanda pergi dengan tak memberi tahu lebjh
dahulu. Sayang sekali, pertanyaan
Abang belumdapat adinda jawab dan Abang telah hilang sebelum mulutku
sanggup nenyusunperkataan pnjawabnya. Kemudian itu Abang perintahkan
adinda menurut perintah orang tua, tetapi adinda syak wasangsa melihat
sikap Abang yang gugup ketika menjatuhkan perintah itu. Wahai Abang …pertalian kita diikatkan oleh
beberapa macam tanda tanya dan teka-teki, sebelum terjawab semuanya,
kakanda pun pergi! Adinda senantias
tiada putus pengharaan, adinda tunggu kabar berita. Di balik tiap-tiap
kalimat dari suratmu, Abang! … surat yang terkirim dari Medan, ketika
Abang akan berlayar jauh, telah adinda periksa dan dinda selidiki;
banyak sangat surat itu berisi bayangan, di balik yang tersurat ada yang
tersirat. Adinda hendak membalas, tetapi ke tanah manakah surat itu
hendak dinda kirimkan, Abang hilangtak tentu rimbanya! Hanya pada bulan purnama di malam hari dinda
bisikkan dan pesankan kerinduan adinda hendak bertemu. Tetapi bulan itu
tak tetap datang; pada malam yang berikutnya dan seterusnya ia kian
surut … Hanya kepada angin petang
yang berhembus di ranting-ranting kayu didekat rumahku, hanya kepadanya
aku bisikkan menyuruh supaya ditolongnya memeliharakan Abangku yang
berjalan jauh, entah di darat enah di laut, entah sengsara kehausan … Hanya kepada surat Abang itu, surat yang hanya
sekali itu dinda terima selam hidup, adinda tumpahkan air mata,karena
hanya menumahkan air mata itulah kepandaian yang paling penghabisan bagi
orang perempuan. Tetapi surat itu bisu, meskipun ia telah lapuk dalam
lipatan dantelah layu karena kerap dibaca, rahasia itu idak juga dapt
dibukanya. Sekarang Abang, badan
adinda sakit-sakit, ajal entah berlaku pagi hari, entah besok sore,
gerak Allah siapa tahu. Besarlah pengharapan bertemu … Dan jika Abang terlambat pulang, agaknya bekas
tanah penggalian,bekas air penalakin dan jejak mejan yang dua, hanyayang
akan Abang dapati. Adikmu yang
tulus, Zainab Do’a Hamid ketika tawaf: “Ya Rabbi, Ya Tuhanku, Yang Maha Pengasihdan
Penyayang! Bahwasanya, di bawah lindungan Ka’bah, Rumah Engkau yang suci
dan terpilih ini, sayamenadahkan tangan memohon karunia. Kepada siapakah saya akan pergi memohon ampun,
kalau bukan kepada Engkau, ya Tuhan!
Tidak ada seutas tali pun tmpat saya bergantung lain dripada tali
Engkau; tidak ada satu pintu yang akan saa ketuk, lain daripada pintu
Engkau. Berilah kelapangan jalan
buat saya, hendak pulang khadirat Engkau, saya hendak menuruti
orang-orang yang bertali hidupnya denganhidaup saya. “Ya Rabbi, Engkaulah Yang Mahakuasa, kepada
Engkaulah kami sekalianakan kembali …” Setelah itu suaranya tiada kedengaran lagi; di
mukanya terbayang, suatu chaya yang jernih dan damai, cahaya keridaan
illahi. Di bawah bibirnya terbayang
suatu senyumandan … sampailah waktunya. Lepas ia dari tanggapan dunia
yang mahaberat ini, dengan keizinan Tuhannya. Di bawah lindungan Ka’bah! ANALISIS INTRINSIK Tema Novel
Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka ini betemakan percintaan, seperti
kebanyakan novel populer lainnya.
Tokoh · Aku · Hamid ·
Saleh · Pak Paiman · Engku Haji Ja’far · Mak Asiah ·
Zainab · Rosna Latar/setting
· Mekkah (1927) · Padang (masa
anak-anak sampai remaja) · Padang
Panjang · Madinah Amanat Pesan
yang ingin disampaikan penulis dalam novel ini yaitu segala sesuatu
membutuhkan pengorbanan. Kita sebagai manusia boleh berencana, berharap
dan berusaha semaksimal mungkin, namun Allah jugalah yang menentukan
semua itu. Alur Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu alur
maju dan mundur. Sudut pandang Dalam menulis novel ini, penulis menggunakan
sudut pandang orang pertama dan orang ketiga. Gaya penulisan Dalam menulis novel Di Bawah Lindungan Ka’bah,
Hamka menggunakan bahasa melayu.
0 komentar:
Posting Komentar