Ada yang bilang, komedi adalah genre paling sulit untuk dibuat. I might be agree on this.
Dibanding genre lain, komedi memang punya distraksi paling beragam
untuk bisa benar-benar mencapai tujuannya yang paling mendasar. Mengajak
orang tertawa dengan kelucuan yang ada. Tak seperti action yang bisa dipoles dengan hal-hal teknis atau melodrama yang bisa dipoles dengan scoring, misalnya, komedi membutuhkan fokus terhadap tokoh sentralnya, terlebih lagi seorang komedian. You’ll be facing likes and dislikes dengan banyak style-style
komedi yang berbeda dari pelakunya. Dan rasanya sulit sekali membuat
patokan sebuah komedi bisa punya kelas abadi dari generasi ke generasi.
Bahkan pada generasi yang sama pun, masing-masing orang bisa punya
resepsi berbeda, yang lantas menciptakan trend dari zaman ke zaman. Komedi dengan masing-masing segmentasinya. Dari slapstick ke standup comedy yang sekarang berkembang sangat marak disini. Generasi ‘70an boleh punya Benyamin S., lantas Warkop atau Srimulat
di era ‘80an. Tapi sekarang, diatas sekedar tampang-tampang hancur
untuk menjual kelucuan, komedian-komedian yang lebih mengedepankan
inovasi-inovasi ini mulai muncul ke barisan depan.
Dan disitu, kita mengenal Raditya Dika. Mengawali karir komedinya dari tulisan-tulisan di blog yang kemudian dikemas menjadi buku, perjuangan Dika juga tak terbilang mudah. Butuh bertahun-tahun sampai ia benar-benar sukses dengan semua buku-buku komedinya, merambah dunia standup comedy, film hingga webseries comedy-nya, ‘Malam Minggu Miko’ yang disiapkan Dika dalam strategi memantapkan langkahnya di adaptasi layar lebar buku-bukunya, years after ‘Kambing Jantan’, buku pertamanya yang diangkat ke film di tahun 2005 oleh Rudy Soedjarwo memperoleh mixed reviews. Setelah ‘Cinta Brontosaurus’, masih akan ada ‘Cinta Dalam Kardus’ dan kabarnya, ‘Manusia Setengah Salmon’. So yes, sama seperti beda-beda selera ke macam-macam style komedi itu, biar fanbase Raditya Dika
sudah sangat banyak, tak sedikit juga cemoohan-cemoohan dibalik
predikat selebtwit atau apalah diantara profesi-profesi sejenis. Toh
bukti dari kesuksesannya mengumpulkan penonton, jadi film pertama dengan
perolehan tertinggi buat tahun ini, tak juga bisa disangkal, biarpun
ada faktor lain dari permainan sistem peredaran film kita oleh
pihak-pihak penguasa bisnisnya yang sama-sama ikut terangkat ke
permukaan.
Sebagai seorang penulis buku komedi, Dika (Raditya Dika)
dari kecil tak pernah beruntung dalam masalah percintaan. Berpindah
dari satu wanita ke wanita lain dengan rentang masa pacaran tak lama,
setelah putus dengan Nina (Pamela Bowie), Dika jadi skeptis dengan sebuah kepercayaan, bahwa cinta, bisa kadaluwarsa. Sementara agennya, Kosasih (Soleh Solihun), yang tengah berada di ambang pernikahan dengan Wanda (Tyas Mirasih)
juga tak berhasil meyakinkan Dika untuk bisa jatuh cinta kembali. Namun
semua mulai berubah ketika Dika bertemu dengan Jessica (Eriska Rein)
yang dirasakannya punya banyak kesamaan dengannya. Di tengah usaha Dika
dan Kosasih bernegosiasi dengan produser oportunis Mr. Soe Lim (Ronny P. Tjandra) yang ingin mengangkat novel ‘Cinta Brontosaurus’-nya
ke layar lebar, keraguan itu kembali melanda hubungannya dengan
Jessica. Kalau cinta memang bisa kadaluwarsa, kenapa Brontosaurus bisa
begitu setia pada pasangannya?
Dibanding ‘Kambing Jantan’ yang terlalu mencoba bertutur sama seperti bukunya, Raditya Dika yang kini menulis skripnya sendiri mencoba bermain dengan kegemarannya pada film-film komedi romantis Woody Allen yang sangat awkward.
Memasukkan cara pandangnya yang unik dalam mendefinisikan cinta ke
dalam blend komedi yang sangat kental dengan gaya awkward-nya yang tak
jauh dari sana, termasuk salah satu adegan pacaran di atas atap SPBU
yang cukup inovatif ataupun joget-joget India yang sudah klise dalam
komedi. Apa itu salah? Ah, jelas tidak. Dan tak ada juga yang salah
dengan perjalanannya yang dipandang sebagian orang menjadi seolah sebuah
sketsa-sketsa komedi dalam merajut penelusuran plot-nya. Dalam komedi,
semuanya bisa jadi sah, sejauh tujuannya memancing tawa bisa bekerja
sesuai segmentasi pemirsa yang bisa menerima style-nya. Tak ada juga komedi yang bisa jadi kadaluwarsa, secara adegan orang terpeleset kulit pisang dan slapstick sekasar ‘The Three Stooges’
saja tetap bisa bekerja di segmentasi yang tepat. Namun di satu sisi,
ini juga jadi resiko tersendiri terhadap sebuah resepsi universal dari
semua kalangan penontonnya. Terbagi antara orang yang memang suka dengan
style komedi Dika, baru mencoba atau sekedar melewatkan waktu buat menontonnya. Intinya, kalau Anda bisa tertawa, berarti Anda suka dengan style komedi ini. Kalau merasa garing, berarti ini bukan tontonan Anda, kecuali yang lain sama-sama tak bisa tertawa. As simple as that, dan tetap pasar yang bicara.
Kenyataannya, di luar segmentasi itu, Raditya Dika memang sudah menunjukkan peningkatan akting yang cukup besar dibandingkan ‘Kambing Jantan’, setelah kiprahnya dalam episode-episode ‘Malam Minggu Miko’. Dan beruntung, ia punya banyak scene stealer yang mencuri momen-momen tepat di tengah karakternya. Soleh Solihun, juga seorang standup comedian yang sedang naik daun malah sering lebih mencuri perhatian lewat karakter Kosasih dengan quote-quote memorable-nya. Ada juga Ronny P. Tjandra sebagai Mr. Soe Lim yang mengisi bagian-bagian sentilan dalam skrip Dika
tentang bisnis film yang di satu sisi juga jadi terasa ironis ke trik
pemasaran filmnya sendiri dengan kualitas scene stealer sama besar
dengan Soleh. Lantas jangan lupakan juga penampilan singkat Bucek, Dewi Irawan dan pemeran cilik M. Griff yang bekerja dengan baik di bagian-bagian akhir filmnya. Di porsi pemeran pendukung lain, Eriska Rein tampil cukup menarik sebagai Jessica, dan masih ada Pamela Bowie, Ence Bagus, Richa Iskak, Joe P. Project, Tyas Mirasih, penampilan khusus DoP senior Yadi Sugandi dan Meriam Bellina, meski lagi-lagi dengan tipikalisme komikal aktingnya belakangan masih cukup berfungsi sebagai nilai jual tambah buat ‘Cinta Brontosaurus’.
Secara teknis, ‘Cinta Brontosaurus’ juga tak jelek. Sinematografi Yadi Sugandi yang jelas sangat membantu pengadeganannya, editing Cesa David Luckmansyah, scoring dari Andhika Triyadi dengan beberapa theme song yang juga masuk dengan pas ke filmnya. Penggarapan Fajar Nugroho / Fajar Nugros juga tetap punya storytelling yang cukup mengalir. Seperti di ‘Cinta Di Saku Celana’ yang sama-sama penuh dengan metafora-metafora absurd dan nyeleneh seputar cinta, Fajar justru memberi keseimbangan dalam komedi ala Dika. Dua pertiga bagiannya memang mencoba membangun dua sisi komedi dan lovestory ini dengan kompromisme jualan secara segmented pada penggemarnya, but the final third could easily win everybody’s heart, secara cukup universal dalam wujud konklusinya sebagai sebuah romcom. So this is segmented, tapi sama sekali bukan berarti jelek.
Sekarang mari kembali ke
fenomena terbesar dalam peredarannya. Bahwa banyak suara-suara yang
saling berlawanan dalam memberikan dukungan itu. Di satu sisi, kita
wajib senang melihat film Indonesia bisa menarik penonton cukup banyak
di tengah gempuran summer blockbusters dengan jumlah layar yang terus bertambah, sekaligus prestasinya menjadi film pertama dengan hasil box office
tertinggi buat tahun ini. Tapi lagi, ini sekaligus membuka mata akan
carut-marut trik-trik bisnis film kita yang dikuasai pihak-pihak
tertentu dalam penentuan nasibnya. Bahwa tak semua film yang layak bisa
mendapat perlakuan sama dibalik permainan PH dan ekshibitor (nyaris)
tunggal di negara ini, itu juga jadi sesuatu yang tak bisa
ditutup-tutupi walau dengan alasan kepentingan bisnis. But I tell you what. Apapun itu, silahkan nyinyir terhadap sistem di belakangnya, tapi jangan pernah salahkan film dan usaha-usaha seluruh cast and crew-nya
membuat sebuah karya yang layak. Cukup buka mata dan belajar lagi dan
lagi untuk bisa memahami. Sebuah komedi memang akan berhadapan dengan
banyak distraksi, apalagi ditambah kenyataan-kenyataan pahit seperti
ini.
0 komentar:
Posting Komentar